Waktu itu tahun Saka menunjukkan angka 1255. Tertulis di lontar kerajaan, “Kengkang Pelapak Gedang Lembah Gunung Pujut dait Gunung Tengak dait Pelembah Polak Due”. Itulah penanda tahun berbahasa Sasak yang menceritakan berdirinya Kerajaan Pujut. Didirikan oleh Ame Mas Meraje Mulie, seorang bangsawan keturunan Majapahit.
Masjid Pujut Merentang Sejarah
Dua setengah abad kemudian di masa datu ke empat, sang datu memeluk Islam setelah pergi ke Jawa. Dia kemudian mengganti namanya menjadi Meraje Olem. Tertulis di lontar angka 1509 tahun Saka ketika Meraje Olem membangun masjid di puncak Gunung Pujud. Tahun 1587 Masehi. Dipilih tempat tertinggi yang ada di wilayah Kerajaan Pujut.
Seperti masjid kuno Rambitan, masjid kuno Gunung Pujut ini terbuat dari bambu dengan atap alang-alang. Desain dan ukuran kedua masjid kuno ini sama persis. Bedanya masjid kuno Rambitan terletak di tengah kampung, sedangkan masjid kuno Gunung Pujut ini terletak di atas bukit dan merupakan suatu kompleks kegiatan keagamaan.
Meski sudah tidak dipakai bangunan masjid kuno Gunung Pujut ini masih dirawat. Hal ini karena masjid ini termasuk cagar budaya. Sedangkan bangunan untuk kegiatan keagamaan lain hanya tinggal pondasinya saja yang terbuat dari batu.
Pada masa lalu kompleks ini menjadi pusat kegiatan dan penyebaran keagamaan Islam, yang dikenal dengan nama Islam Wektu Telu. Ajaran Islam Wektu Telu ini adalah ajaran Islam yang bercampur dengan ajaran Hindu yang pada waktu itu masih kuat. Kegiatan keagamaan masih dipimpin oleh dua pemimpin agama. Untuk kegiatan yang berhubungan dengan ajaran Islam dipimpin oleh seorang guru atau kyai. Sedangkan kegiatan yang berhubungan dengan ajaran Hindu dipimpin oleh seorang pemangku.
Mengunjungi Kompleks Masjid
Untuk sampai ke masjid kuno ini kita harus menaiki ribuan anak tangga. Waktu itu bulan puasa ketika Jelajah Wisata ke sana. Mendaki titian anak tangga membuat kerongkongan benar-benar kering. Sekering ikan asin lewat sedikit. Sesampai di atas terlihat sangat jelas kompleks masjid kuno itu dikelilingi pagar kawat. Dua lembar pintu pagar besar tampak menutup di ujung undakan. Saya clingak-clinguk melihat-lihat, barang kali ada tempat yang bisa dilompati atau menerobos di bawah pagar. Tidak ada. Hanya pagar kawat tinggi yang rapat. Ini adalah alamat, jidat sudah tidak bisa ditepok lagi.
Untung sungguh diuntung, waktu itu ada beberapa remaja yang ikut naik. Semula saya kira mereka adalah para remaja yang ingin nongkrong-nongkrong di atas. Memang tidak ada komunikasi di antara kami. Ternyata ketika saya sedang tercenung di depan pintu pagar tinggi yang digembok itu, salah seorang dari mereka maju ke depan dan membuka gemboknya.
Alhamdulillah! Pastilah ibu yang di bawah tadi yang menyuruh mereka. Tadi saya sempat bertanya pada seorang ibu yang rumahnya di bawah bukit. Di sebelah rumahnya terpasang plang cagar budaya masjid Gunung Pujut. Selain itu tidak ada tanda-tanda keberadaan masjid kuno. Ternyata harus naik tinggi. Setelah mendapat arahan dari ibu itu bahwa masjid yang kami cari ada di atas awan, saya dengar ibu itu teriak-teriak dalam bahasa Sasak. Pastilah menyuruh remaja-remaja itu membukakan pintu.
Begitu melewati pintu pagar, haus dan capek yang tadi mendera mendadak hilang. Meski hanya tinggal bekas-bekasnya tapi masih bisa kita lihat kompleks ini dulu adalah kompleks yang besar. Seperti pesantren. Dengan Islam Wektu Telu, merekalah yang dulu meletakkan pondasi keislaman di seluruh Lombok. Al fatikhah untuk Meraje Olem.
Obyek wisata halal di Lombok:
Masjid Kuno Rambitan
Makam Wali Nyatoq
Masjid Raya Hubbul Wathan