Kularung Rinduku di Lidah Gelombang

“Kularung Rinduku di Lidah Gelombang”. Puisi ini saya temukan di Pantai Mawun, Lombok Tengah. Salah satu pantai terindah di Lombok. Meskipun begitu pantai dengan pasir putih kecoklatan ini masih sepi. Hanya beberapa wisatawan yang datang. Beberapa di antaranya wisatawan asing. Ada yang sekedar jalan-jalan di pantai, berjemur, dan ada pula yang berselancar.

Suasana pantai yang lengang ini memberikan kita kesempatan untuk menikmati pantai dengan teluk dan ombaknya. Di sinilah rindu bisa menjelma menjadi puisi.

Begitulah puisi ini tercipta, atau tepatnya muncul begitu saja. Menjelma dari keindahan pantai Mawun dan ingatan akan rumah. Begitulah puisi. Kadang-kadang ide dan kata-kata muncul begitu saja ketika indera kita menangkap obyek yang tepat. Kadang pula sebuah ide yang sangat kuat, dan karena itu menjadi ide yang bagus, muncul sendirian. Tidak ada kata-kata yang muncul mengikutinya. Butuh kerja keras ketika ide muncul sendirian seperti ini. Bisa berjam-jam, berhari-hari, atau bahkan melalui jeda waktu berbulan-bulan. Puisi “Setelah Habis Aku Memasang Dadu” bahkan melewati waktu bertahun-tahun untuk mengejawantah. 


Kularung Rinduku di Lidah Gelombang

(Nanda Wirabaskara)

Kularung rinduku di lidah gelombang

Kepada pasir aku bertanya,
“kenapa cinta sedang tidak bergema?”

Karena
Dengan laut kita berjarak
Sehingga keinginanku bertemu denganmu
Membentur hampa

Setiap rintik akan jatuh ke bumi
Setiap asap akan terbang ke langit
Bagai begitu…
Kularung rinduku di lidah gelombang

Mawun 21 September 2017.


Puisi rindu:

Simfoni kelapa lima
English translation please click

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *