Jalan-jalan di Thailand kita akan menemukan banyak tempat pemujaan. Mungkin seperti di Bali. Di tempat-tempat pemujaan itu orang menaruh bunga dan membakar dupa. Sebagai persembahan untuk Tuhan.
Sekarang orang mulai bersiasat dengan Tuhan. Membeli dan menaruh bunga segar setiap hari di tempat pemujaan sudah dianggap merepotkan. Sementara mereka tidak bisa meninggalkan agamanya. Buddhisme sudah mereka anut secara turun-temurun. Pikiran praktis dari peradaban modern memberikan solusi: “Bunga Plastik untuk Tuhan”.
Sekarang mulai banyak orang yang menaruh bunga plastik sebagai persembahannya. Biar praktis. Tidak perlu mengganti setiap hari. Mungkin begitulah gagasannya. Dari kebiasaan motret di setiap kesempatan karya ini saya temukan. Sebuah parodi yang terjadi di Thailand yang masyarakatnya sangat religius.
Bunga Plastik Untuk Tuhan
by: nanda wirabaskara
Ini adalah sebuah kisah
yang jamak lumrah terjadi di seluruh muka bumi
Sejamak pohon yang meranggas di musim kemarau
dan bersemi di masa muda
Pamit sang putra
Pada semua keluarga di desa
Untuk menuntut ilmu di kota
Sendiri di dalam doa
Sendiri di masa muda
Seperti dirantai siksa
Di luar sana semua hiruk-pikuk
Sendiri di sini dengan buku-buku Yang membuat ngantuk
Tanpa banyak kata adalah pada awalnya
Kebersamaan ini dibangun untuk saling berpacu
Meraih prestasi tertinggi
Harapan yang dititipkan keluarga di rumah
Dalam irama gairah muda
Semua berjalan bagai hembusan angin
Wusshh….
Tiba pada ketika meja serta buku-buku berubah menjadi penghalang
Hanya kita berdua dan perbincangan-perbincangan
Sementara gejolak naluri muda berada di luar perhitungan
Atau sejak sangat awal disembunyikan dalam kesabaran
Hingga tiba-tiba saja kata-kata tidak lagi cukup
Sentuhan-sentuhan mulai diucapkan
Meski berjalan dalam koridor remeh
Tidak njaman dan sudah ditinggalkan:
Petan di bangku taman
Hasrat sang muda memang selalu menggelora
Menghilangkan tulang dalam lidah kita
Hingga terlontar suatu kata, “datanglah ke asrama.
siang hari saja, di jam berkunjung.”
Begitulah sang muda membalik dunia
Yang sendiri di luar sana dibakar cuaca
Tanpa bisa meranggas
Dan harus meneruskan jalannya
Di sini hiruk-pikuk menghalau kantuk
Mengambil alih kepemilikan dunia
Di titian yang membuat mereka
Membakar doa yang belum selesai dipanjatkan
Bunga plastik untuk tuhan
Chiang May, mei 2010
Koleksi puisi terkait:
Nyanyian Kembang Pelukis Jalanan