Salam – Tempel sejak awal keberadaannya sebenarnya sudah dipisahkan oleh sungai. Perkembangan peradaban Jawa menghubungkan keduanya menjadi tradisi: “salam tempel”.
Oleh Nanda Wirabaskara
Anak-anak generasi milenial mungkin tidak banyak yang tahu apa itu “salam tempel”. Berbeda dengan orang tua mereka dari generasi ‘kapak batu’. Istilah “salam tempel” sangat populer bagi generasi ‘kapak batu’ ini.
Dulu ketika seseorang berurusan dengan pemerintah sering kali urusan mereka berbelit-belit. Tidak selesai-selesai. Entah itu urusan dengan kelurahan, kecamatan, sekolahan, kantor pemerintah, ataupun berurusan dengan polisi lalu lintas.
Untuk menghindari kerumitan itu orang sering kali menyalami petugas yang menghadapinya. Salam ini bukanlah salam biasa. Orang itu sudah menggenggam sejumlah uang ketika bersalaman. Ketika bersalaman petugas akan menerima uang itu dan secara diam-diam memasukkannya ke dalam saku. Itulah salam tempel. Salam yang melancarkan segala urusan.
Salam tempel ini adalah salah satu bentuk suap di mana orang melakukannya seketika. Tidak perlu menunda-nunda waktu. Meskipun orang melakukan salam tempel di depan publik tetapi mereka melakukannya secara tersamar. Tidak memalukan karena secara publik peristiwa yang terjadi adalah ‘bersalaman’.
Membaca Tanda-tanda Alam
Membaca tanda-tanda alam sekarang ini mungkin sudah menjadi lagu lama. Bahasa gaulnya “old school“. Jurus lama dan orang sudah meninggalkannya. Kali ini jelajah budaya akan mengajak anda untuk “nguri-uri kabudayan“. Melestarikan kebudayaan.
Tradisi Jawa mengenal istilah “tanggap ing sasmita“. Membaca tanda-tanda alam. Dengan kemampuan membaca tanda-tanda alam ini kita bisa mendapat pemberitahuan dari lingkungan di sekitar kita. Penjelasan atas segala sesuatu, prediksi tentang apa yang akan terjadi, jawaban atas sebuah pertanyaan, dan segala hal tentang kehidupan.
Jangan salah, ya.., membaca tanda-tanda alam jaman sekarang ini tidak melulu merupakan hal yang serius. Alam ternyata bisa juga satir, ironi, dan lucu. Seperti tanda alam tentang “salam tempel” ini.
Tradisi Turun-temurun “Salam Tempel”
Banyak pakar bilang bahwa korupsi sulit diberantas di Indonesia karena korupsi sudah membudaya. Budaya korupsi. Termasuk di dalamnya adalah budaya suap-menyuap. Tradisi “Salam Tempel”.
Bagi anda yang terbiasa menempuh perjalanan Yogya – Magelang anda tentu terbiasa menjalani “Salam Tempel”. Kalau anda menyangkalnya, itu hanya karena anda tidak menyadarinya saja.
Ketika anda melewati gapura perbatasan Yogyakarta – Jawa Tengah, sebenarnya anda sedang menjalani Salam – Tempel. Melewati jembatan Krasak.
Memang orang membangun Jembatan Krasak itu untuk menghubungkan Salam dengan Tempel. Jadi Kecamatan Salam, Magelang dengan Kecamatan Tempel, Sleman sebenarnya sudah berdampingan sejak awalnya. Keduanya, Salam – Tempel oleh alam dipisahkan oleh sungai Krasak.
Pertumbuhan peradaban menuntut manusia untuk menghubungkan keduanya. Sejak dulu kala Salam – Tempel dihubungkan dengan jembatan bambu sampai sekarang dengan jembatan modern berkerangka besi. Di dunia beradab Salam – Tempel memang harus terhubung. Menjadi tanda dari tradisi “salam tempel” yang muncul menjadi ‘kebutuhan’ peradaban.
Sekarang setiap kali melewati perbatasan Salam – Tempel itu, saya selalu tersenyum sendiri. Membaca tanda alam yang lucu. Tersenyum sambil membatin, “selamat datang di tradisi salam tempel”. Tradisi yang sudah turun-temurun.
Lihat video jembatan Krasak, lewat pasar tradisional di bawah jembatan dan lewat atas jembatan.
Baca juga
Legenda kota yang lucu di Solo tentang patung yang menghadap ke tembok, baca link iniÂ