Jaman sudah bergeser. Petani tidak lagi hidup dalam ranah subsisten. Mereka bercocok tanam dalam ranah “pasar”.
Oleh: Nanda Wirabaskara
“Mborong, buk?” Begitua aku membuka silaturahmi sembari menunggu pesanan take home. Duduk di samping seorang ibu yang juga sedang menunggu pesanannya. Beberapa bungkus mie ayam.Â
“Niki ngirim..,” jawabnya singkat. Artinya pembeliannya tidak dalam kategori memborong, yang biasanya untuk acara atau menyuguh tamu. Hal-hal yang merupakan kebutuhan sekunder lah. Ini untuk ngirim. Istilah singkat dari mengirim makan (siang) untuk kerabat yang sedang bekerja di sawah.
Berlalunya Era Petani Subsisten
Jaman memang sudah bergeser. Petani tidak lagi hidup dalam ranah subsisten. Cara hidup di mana semua dipenuhi sendiri, dari hasil sawah, kebun, dan ternak. Dalam ranah ini petani secara umum hidup dalam taraf ‘kecukupan’. Taraf ini ada dua warna.
Warna pertama bagi mereka yang berkelimpahan sumber daya. Eksplorasi untuk meningkatkan produksi mereka dalam bertani berhenti ketika hasilnya sudah mencukupi kebutuhan hidupnya, termasuk cadangan pangan bila mana terjadi paceklik. Ketika musim tidak mendukung untuk produksi pangan.
Warna ke dua merupakan strategi adaptasi bagi mereka yang fakir sumber daya. Kepemilikan lahan terbatas, peluang yang bisa didapatkan dari relasi sosial juga terbatas. Dalam taraf ini ‘kecukupan’ hidup petani dicapai dengan menggelar berapapun hasil yang bisa mereka dapatkan dalam satu putaran masa tanam. Hasil yang didapatkan akan digelar (dijereng) sampai masa panen berikutnya. Berapa jatah yang bisa mereka konsumsi per hari, segitulah kebutuhan mereka per harinya. Begitulah ‘kecukupan’ bisa diraih. Dicukup-cukupke sehingga cukup.
Begitulah para petani hidup sebelum memasuki era “pasar modern”–kalau tidak mau dibilang “pasar bebas”. Pada era itu pasar bagi petani adalah tempat bagi mereka untuk saling bertukar produk mereka dengan kebutuhan yang tidak mereka produksi. Pada awalnya barter, dan dalam perkembangan selanjutnya dengan perantara uang. Kebutuhan hidup mereka muncul hanya terhadap apa-apa yang mampu mereka jangkau.
Jaman Sudah Bergeser
Petani sekarang sudah hidup dalam ranah pasar. Segala sesuatu dihitung dengan kurs jual/beli. Cukup atau tidak tergantung dari selisih konversi kurs tersebut.
Bercocok tanam bagi mereka bukan lagi menjadi gaya hidup. Gaya hidup petani. Bercocok tanam sekarang adalah bekerja. Menanam investasi. Mengolah tanah mereka menggunakan traktor dengan bahan bakar solar yang mereka beli. Bibit mereka beli. Pupuk mereka beli. Herbisida mereka beli. Insektisida mereka beli. Tenaga kerja mereka mengupah buruh. Makan siang–yang dikirim dari rumah–mereka juga beli. Semuanya adalah investasi.
Era Berhitung Bagi Para Petani
Penghasilan mereka didapatkan dari total hasil panen dikurangi semua pengeluaran. Sekian rupiah dikurangi sekian rupiah sama dengan sekian rupiah. Waktu dan tenaga mereka sendiri, karena tidak beli dan tidak membayar, tidak mereka kalkulasi. Tidak dihitung. Kedua hal itulah yang masih tersisa dari tradisi subsisten mereka.
Karena sudah harus berhitung para petani mulai mempertimbangkan selisih yang paling tinggi dalam menentukan jenis komoditas yang akan ditanam. Selisih antara hasil panen dikurangi modal. Para petani yang berani bermain di area padat modal akan memilih komoditas mahal. Lombok, tembakau, lada hitam dan tanaman lain yang tinggi nilai jualnya.
Sintem Permodalan
Untuk kebutuhan modal tanam yang besar, dari mana petani dapat suntikan dana? Tidak perlu risau. Yang penting berani. Memasuki masa tanam para petani ini sudah ditempel bermacam pihak yang ingin memberikan pinjaman. Yang penting petaninya berani. Dari rentenir, tengkulak, perusahaan besar yang mau membeli hasil panenan, sampai bank. Mereka berlomba-lomba untuk memberikan pinjaman modal pada petani. Hutang!
Setelah mendapatkan kucuran pinjaman modal, para petani akan ditempel para pedagang bibit, pedagang pupuk, dan pedagang obat. Para pedagang ini siap menjadi tempat bagi para petani membelanjakan hutangnya. Kalau petani gagal panen, bagaimana dia membayar hutangnya? Tidak perlu khawatir. Pihak bank dan kawan-kawan itu siap memberi pinjaman modal lagi yang bisa dilunasi setelah panen. Dengan sistem ini para petani tidak boleh bertubi-tubi mengalami gagal panen karena sawahnya akan diambil alih untuk pelunasan hutang. Kalau ini terjadi ini adalah musibah bagi petani.
Jangan salah! Kegagalan yang bertubi-tubi seperti itu sangat jarang terjadi. Meski sepertinya petani dieksploatasi habis-habisan oleh banyak pihak, petani tidak melulu menjadi pihak yang lemah. Banyak juga petani yang diuntungkan dalam sistem pertanian transaksional seperti ini. Para petani yang tangguh bisa memperluas lahannya ketika panen raya di saat harga bagus. Membeli lahan orang-orang yang meninggalkan sektor pertanian. Ada juga yang bisa naik haji, atau yang level kecil-kecilan membeli mobil atau sepeda motor.