Nawangwulan, semoga dia ada di antara mereka. Pada tujuh bidadari yang lagi mandi di sungai itu, aku telah tawarkan, “pinarak1mampir (bhs jawa) mbak..”
Sepertinya tidak ada dari mereka yang mendengar. Apakah harus kucuri lagi selendangnya? Burung buhul-buhul tentu akan bersorak kalau aku melakukan itu. Sebuah dosa kutukan yang melekat bagai embun pada sedel sepeda motor di malam bediding. Muncul lagi dan muncul lagi setiap dibiarkan di luar. Andaikan Nawangwulan ada menjadi salah satu di antara mereka, mungkin kami akan terperangkap dalam dosa yang sama. Seangkuh apapun dirinya menjaga martabat, sekeukeuh apapun aku menjaga kelakuan.
Tapi tujuh bidadari yang lagi mandi di sungai itu, tidak ada di sana Nawangwulan. Mereka adalah perempuan-perempuan anggun yang baru turun dari jakarta. mbabu2menjadi pembantu rumah tangga , tentunya. Karir yang selalu menyambut setiap perempuan yang sudah tidak sekolah. Dan setiap tarikan nafas desa magersaren3numpang di tanah orang/perusahaan/pihak lain ini telah membawanya pada tingkatan yang lebih jauh, lebih jauh. Sekarang sudah ada yang sampai malaysia. Kontroversi di belakangnya adalah konsekuensi. Tidak perlu diperbincangkan.
Sebuah hentakan kuat pada kailku menghapus semua peristiwa yang sedang melantun. Berdebar hatiku karena ini tentunya sebuah tangkapan besar. Aku rasakan dari kuatnya hentakan yang membuat tangan-tanganku harus mengejan. Seekor hampala sebesar tepas4kipas tradisional dari anyaman bambu di ujung kailku membuat kami mengaduk-aduk air sungai yang semula tenang. Sebesar apapun dia, tetap saja bukan tandinganku. Terangkat juga akhirnya ke atas, menggelepar-lepar di atas tanah kering yang dalam awal musim ini telah membunuh semua rumput.
Megap-megap ikan itu membuatku cepat tanggap, melanjutkan lagi peristiwa yang baru saja menyublim.
“Diajeng, diajeng… apakah dirimu Nawangwulan?”
(oleh: Nanda Wirabaskara)
Baca kisah-kisah lucu, satire, dan romantis di Jelajah Sastra