Kos saya dulu pemiliknya sangat selektif menerima anak kos. Hanya orang santun dan seetnis yang boleh kos di situ. Jadi dalam kategori itu saya termasuk orang yang tahu sopan-santun. Sementara itu di mata orang lama kos saya itu dikenal angker, meski ketika saya masuk di kos itu sudah tidak pernah ada peristiwa aneh.
Dengan kombinasi itu wajarlah ada suatu masa di mana saya tinggal di kos sendirian. Yaitu ketika temen-temen kos sudah pada lulus, satu per satu. Waktu itu menjadi masa transisi di mana saya yang semula anggota kos paling muda menjadi anggota paling disegani, wakwakwak…
Ceritanya bulan puasa. Karena kos sendirian, sementara keluarga pemilik kos beragama nasrani maka saya harus puasa secara mandiri. Hari-hari saya lalui tanpa masalah. Saya selalu bangun ketika tiba waktu sahur, meskipun saya tidak punya jam.Â
Suatu hari, saya bangun dini hari seperti biasa. Bergegas saya keluar untuk membeli makan. Berjalan kaki saya sampai ke Gejayan dan mendapati tak satupun warung makan yang buka. Saya bimbang mungkinkah orang-orang sudah mulai mudik? Padahal lebaran masih lama..? “Wah, alamat mulai gak bisa sahur ini..,” batin saya.
Saya pun memutuskan untuk kembali ke kos & masak air untuk menyeduh teh. Sekedar menyangga sahur.
Segelas teh panas, udud kebal-kebul1Mulut mengeluarkan asap karena meroko, dan iringan radio menemaniku memulai ibadah puasa hari itu. Meski gak ada makanan tapi suedep betul itu. Lagi enak-enaknya srupat-sruput dan kebal-kebul, tiba-tiba suara penyiar menyelingi lagu-lagu yang diputar, “waktu menunjukkan pukul satu dini hari…”
“Bajinguk! Warunge do durung bukak2Anjir, warungnya belum pada buka!” girang batin saya seolah mendapat rahmat seribu bulan…
Cerita terkait