Rahmat Seribu Bulan #3 – Cerita Seputar Ramadhan

Yogya terasa seperti biasanya. Hari itu adalah hari terakhir bulan sya’ban. Yang berarti bahwa besok tanggal 1 ramadhan. Malam sudah sementara waktu menjelang. Sendirian saja saya di kos ketika tiba-tiba terdengar suara diesel dimatikan di depan kos.

“Deng deng deng…, pet.”

Seperti ada perahu motor baru sandar di depan kos.

Deru mampir. Dan memang benar Deru klinong-klinong sudah berdiri di depan pintu kamar. Ngobrol ngalor-ngidul, nguda rasa. Ngobrol ke sana ke mari tak tentu arah sekedar mengumbar perasaan. Setelah sementara waktu Deru bilang bahwa dia mau ke Batang. Ada urusan dagang. Dia mengajak saya untuk ikut. Karena lagi gak ada kerjaan saya mau ikut..

“Deng deng deng..,”

Berangkatlah kami seumpama naik perahu motor. Dan nguda rasa beserta nyek-nyekan pun berlanjut di dalam kabin. Kali ini disertai hina-menghina, alias nyek-nyekan. Semakin malam saya didera kantuk yang tiada tertahan.

Nek ngantuk turu wae, timbang tetep melek1Kalau mengantuk tidur saja dari pada tetap terjaga — rasa ngantuk itu akan menular..,” begitulah Deru meminta saya untuk tidur dari pada menahan kantuk.

Sebelum tidur saya tanya ke dia, akan sampai di manakah kita jam 3 pagi nanti?

Durung tekan.., isih adoh..2Belum sampai.., masih jauh.. ,” jawabnya singkat.

Saya pun wanti-wanti sama dia, “Mengko jam 3 aku digugah, ya.., aku arep sahur. Sesuk pasa3Nanti jam 3 saya dibangunkan, ya.., saya mau sahur. Besok puasa.

Dia ya-yo4Mengiyakan saja wae tanpa ragu sedikitpun. Berangkatlah saya tidur dengan tenang.

Entah berapa lama saya tertidur, akhirnya saya terbangun. “Jam piro iki?5Jam berapa ini ” spontan saya bertanya.

Wes kliwat subuh!6Sudah lewat subuh” jawabannya singkat, jelas, dan nganyelke7Mengesalkan hati . Sayangnya memang tidak ada penanda waktu dalam mobil itu.

Saya gak mau percaya begitu saja. Sambil memperhatikan pinggir jalan saya memintanya berhenti ketika ada pedagang nasi..

Iki wes kliwat subuh. Sarapane sesuk wae..,8Ini sudah lewat subuh, sarapannya besok saja” begitulah Deru menolak untuk berhenti makan. Tidak ada keterangan yang jelas apa? Mengapa? Kenapa? Dia tetap saja memacu mobilnya.

Dan memang benar katanya, sebentar kemudian langit sudah mulai meremang…

*Belakangan baru dia cerita kalau dia harus sampai di lokasi sebelum yang punya rumah pergi ke sawah. Kalau sampai kepancal9Ketinggal pergi sia-sia sudah perjalanan panjang yang ditempuh..

Akhirnya sampailah kami di tujuan.

Pagi masih uthuk-uthuk10Pagi gelap . Seorang laki-laki paruh baya menyambut kami dengan ramah. Dia menyuruh anak perempuannya menyuguhkan minum, “gawekke teh panas 2, nok..11Buatkan teh hangat 2, neng

Kulo mboten sah, pak12Saya tidak usah, pak,” segera saya menimpali. “Kulo siam, kok13Saya puasa, kok .”

Mboten sah pripun, siame sesuk14Tidak usah gimana? Puasanya besok !” dia tetap memaksa.

Tak berapa lama datang gadis manis tinggi semok membawa nampan dengan dua gelas teh panas. Setelah menaruh dua gelas teh panas gadis manis tinggi semok itu masuk lagi. Tak berapa lama gadis manis tinggi semok itu keluar lagi membawa nampan berisi sepiring irisan mangga yang sudah dikupas. Lalu segera masuk lagi.

Monggo..15Silahkan ,” bapak paruh baya itu mempersilahkan.

Kulo siam, kok16Saya puasa, kok ,” saya bersikeras menolak.

Siam opo? Siame sesuk! Monggo..17Puasa apa? Puasanya besok. Mari..

Saya tetep mendiamkan saja godaan api neraka tersebut.

Pagi semakin ramai. Orang-orang memulai harinya. Tidak nampak suasana berpuasa pada orang-orang itu. Banyak di antara mereka memulai harinya sambil mengunyah makanan dan menggenggam kue di tangan.

Woh, kene alirane beda18Oh, di sini alirannya lain !” Girang saya dalam hati. Demi menghormati kearifan lokal, saya mengikuti aliran setempat saja.

Begitulah. Ketika dipersilahkan lagi, saya segera menyeruput teh panas.

Nah.., ngoten.., posone ki sesuk..19Nah.., begitu.., puasanya itu besok.. ,” bapak paruh baya itu terdengar senang saya menikmati suguhannya. Saya terlebih lagi girang bukan kepalang, seumpama mendapat rahmat seribu bulan sebelum bulan puasa tiba…


Cerita terkait

Rahmat Seribu Bulan

Rahmat Seribu Bulan #2

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *