Lagi bingung di Bojonegoro? Bagi anda penggemar kopi, beruntung ada banyak warung kopi yang bisa mengendorkan sedikit penat di kepala. Tentu saja kopi trah Jawa Timuran. Barang kali anda bisa cerdas kembali setelah dibakar panas matahari yang musim kemarau tahun 2019 ini bisa mencapai 42°C!
Bojonegoro adalah sebuah kota kecil di Jawa Timur yang jauh dari mana-mana. Stasiun kereta api di Bojonegoro hanya dilewati kereta api jurusan Semarang – Surabaya. Kalau anda dari jalur selatan anda boleh turun di Ngawi atau Paron, kemudian lanjut bus atau sewa mobil untuk perjalanan yang melelahkan.
Bagi anda penggemar kopi, beruntung ada banyak warung kopi untuk sejenak melupakan kelelahan anda. Mereka akan menyajikan kopi trah Jawa Timuran.
Ciri Khas Kopi Trah Jawa Timuran
Dari sisi rasa dan cara penyajian kopi Jawa Timuran ini tidaklah istimewa. Warung-warung kopi di Bojonegoro ini menyajikan kopi seduhan atau yang lebih dikenal dengan istilah kopi tubruk. Cara tradisional penyajian kopi di banyak daerah di Indonesia. Jenis kopinya pun juga tidak terlalu dipentingkan oleh warung-warung itu. Cukuplah kopi-kopi brand besar yang harganya ekonomis itu.
Hal yang menjadikannya ciri sebagai kopi Jawa Timuran adalah disajikannya kopi nasgitel ini dalam cangkir-cangkir kecil. Nasgitel singkatan dari panas legi kentel. Panas, manis, dan kental menjadi perpaduan komposisi sajian kopi tradisional yang akan menjadi oase anda di Bojonegoro.
Cangkir-cangkir kecil inilah warisan legenda “secangkir Jawa” berabad yang lampau. Awal abad ke 18 istilah “a cup of Java” menjadi populer di dunia untuk menyebut “secangkir kopi”. Ya! Begitu identiknya “kopi” dengan “Jawa” pada waktu itu karena kopi dari Jawa ini mendominasi pasar kopi dunia. Baik secara kualitas maupun kuantitas.
Gelombang-gelombang Kopi Dunia Akibat Perang Dagang
Gemuruh gelombang baru dalam menikmati kopi mulai terjadi setelah Perang Dunia I (1914-1918). Mahalnya harga kopi dan tingginya permintaan kopi membuat orang mengembangkan kopi instan. Kopi yang bisa cepat disajikan dan harganya murah. Mengenai rasa, tidak usah dibicarakan!
Gelombang ke dua dimulai setelah Perang Dunia II dengan ditemukannya mesin priston espresso komersial oleh Gaggia. “Gaggia Coffee Bar” di Italy dengan mesin itu menjadi kedai kopi pertama di dunia yang menyediakan espresso, di samping kopi tubruk. Itu menjadi awal berkembangnya kopi modern.
Perkembangan gelombang perkopian ini terus berlanjut mengiringi persaingan kedai-kedai kopi modern yang terus bertumbuh. Meskipun begitu gemuruh gelombang kopi yang datang silih berganti itu pada awalnya tidak terasa di Indonesia.
Cerita gemuruh gelombang kopi ini secara menggelegar berkumandang di Indonesia ketika Starbugs membuka kedainya di Plaza Indonesia pada Mei 2002. Dalam rentang belasan tahun brand yang ‘nganyelke‘ ini sudah membuka lebih dari 300 gerai di lebih dari 20 kota di Indonesia. ‘Nganyelke‘ karena dengan kebesaran branding dan marketing yang mampu mereka lakukan mereka telah mendominasi “cerita kopi” di Indonesia menjadi sama dengan apa yang terjadi di Barat.
Komoditas favorit dunia yang mahal ini, kopi, tidaklah sebegitu mahal di Indonesia. Ketika orang Barat memerlukan membuat kopi instan untuk memberikan kopi murah, di sini orang numbuk kopi sendiri. Orang-orang di desa menanam beberapa pohon kopi di pekarangan mereka.
Para buruh-buruh perkebunan kopi milik VOC yang miskin dan tidak mampu membeli kopi, mereka mengumpulkan biji kopi dari sisa-sisa kotoran luwak yang memakan biji kopi pilihan. Lama rentang waktu kopi gelombang I itu tidak sampai di sini. Era 90-an kopi instan baru populer di Indonesia. Itupun harganya tidak lebih murah dari kopi asli! Ini seperti cerita dari Papua. Orang menjual ikan segar untuk membeli ikan kaleng yang harganya lebih mahal! Dekade berikutnya gelombang-gelombang kopi selanjutnya ikut mendominasi cerita kopi di tanah air.
“Secangkir Jawa” Itu Masih Hadir di Warung Kopi
Bertahun sejak kedai kopi impor membuka usaha kopi di Indonesia mereka mulai memimpin. Mereka menjadi trend setter bagi kedai-kedai kopi baru. Dengan kedai yang mewah mereka merubah kopi tidak lagi menjadi gaya hidup. Kopi adalah atribut untuk hidup gaya. Kedai kopi modern menjadi tempat nongkrong orang-orang dengan ‘kelas’.
Dengan gemuruh kedai kopi modern itu, keberadaan warung kopi tradisional tetap bertahan. Mereka yang hanya ingin minum kopi tanpa mau memperdulikan pencitraan yang banyak dikemas menyertainya dengan setia menjadi konsumennya.
Ciri dari warung kopi tradisional ini adalah meja panjang dan bangku panjang yang memberi ruang bagi para pengunjung untuk membaur. Ruangan warung kopi biasanya terbuka dengan sirkulasi udara yang lebar dan smoking area.
Kesederhanaan warung dan kesederhanaan kopi yang disajikan di warung-warung kopi ini menghadirkan suasana akrab. Karenanya para pengunjung yang menjadi langganan biasanya saling kenal. Obrolan santai biasa mewarnai kegiatan minum kopi. Bagi anda yang baru datang di warung kopi ini anda bisa dengan mudah menemukan teman ngobrol dan mendengar kabar terakhir keadaan di sekitarnya.
(/nna)