Saya sedang mengupas mangga muda untuk lutisan, ditemani kemriwiknya omongan anak ragil. Tiba-tiba ada suara orang permisi. Seperti suara ibu-ibu. Mungkin tetangga. Saya mendongak. Dia ngomong sesuatu yang tidak jelas saya dengar. Ya iyalah, lha wong dia di luar saya di dalam. Meskipun bisa saling melihat tapi itu kaca-kaca. Susu segarÂ
Saya meletakkan mangga dan pisau, segera menyongsong ke pintu depan. Dia menawarkan susu segar. Ada beberapa plastik di tangannya. Ternyata dia seorang mas-mas.
“Mboten1Enggak,” jawab saya sambil mikir, itu yang ditawarkan susu beneran apa bukan? Kalau susu beneran kok diplastiki? Harusnya susu beneran itu…
Mas-mas itu menawarkan lagi, susu sapi segar aneka rasa.
“Oh, susu sapi, pantes diplastiki..,” batin saya, “tapi kalau susu sapi diplastiki, apa sapinya gak nylenthak2Tendangan sapi/kuda?”
“Untuk anaknya, mungkin..,” mas-mas itu masih gigih menawarkan. Tetap dengan bahasa Indonesia. Sepertinya dia melihat peluang bisnis ketika melihat Mayang menyusul 🎼di belakangku.. 🎶
Saya melihatnya sambil membatin, “Oh mase ora iso boso Jowo3Oh si abang tidak bisa bahasa Jawa ..”
Mas-mas itu masih muda, saya taksir kalau kuliah mungkin dia tingkat 3 atau 4. Kalau gak kuliah mungkin dia baru lulus SMA.
Loh piye to4Loh, gimana sih ? Ah, saya memang tidak pandai itung-itungan. Wong saya itu orangnya apa-apa ikhlas.
Sebagai contoh untuk menggambarkan betapa saya itu orangnya ikhlas, dulu waktu jaman masih tinggal di kos. Pada suatu bulan puasa, tiba-tiba datang seorang teman yang jarang ketemu. Dia tanya, “posomu bolong piro, aku wes bolong 3, je5Puasamu sudah batal berapa, aku sudah batal 3....?”
“Kowe karo Gusti Allah kok itungan to? Ngungkuli cino6Kamu sama Tuhan kok hitung-hitungan to? Orang Cina aja gak segitunya ..,” jawabku.
Kembali ke mas-mas yang masih muda itu. Saya lanjut membatin, “laki-laki, masih muda, kok sudah menjual susu.., kalau sudah tua nanti jualan apa dia?”
“Untuk anaknya, mungkin..,” begitu tadi tawaran terakhirnya.
“Satu berapa to?” saya menjajaki untuk membagi rejeki padanya.
“Tujuribu.”
Saya menoleh ke belakang, “Mayang mau susu?”
Mayang mau. Yang rasa coklat.
“Saya racik dulu, ya?” mas-mas itu menjawab sambil menoleh ke belakang. “Motor saya di sana..”
“Ya,” jawab saya sambil membalik dan mengambil uang di saku jaket. Sepuluh ribu. Saya kasih ke Mayang, “May, ini nanti dikasih ke omnya sambil bilang, kembaliannya disimpan aja, Om..”
Mayang menerima sepuluh ribu, saya melanjutkan mengupas mangga. Mayang menyongsong, “Pak kalau gak usah panggil om, gimana?”
“Kenapa to?”
“Soalnya tadi suaranya perempuan..”
*nan*