Bagi kebanyakan orang Jawa dan pemerhati kasusastran Jawa Ronggo Warsito bukanlah nama yang asing. Dia adalah pujangga Kraton Surakarta yang dikenal karena karyanya, “Serat Kalatidha”. Karya ini menjadi populer karena menuliskan panjangka Prabu Jayabhaya “Jaman edan“.
Ronggowarsito bukan Prabu Jayabhaya
“… jadi Ronggowarsito ada 3. Ronggowarsito I adalah putra Yosodipura I, dimakamkan di Pengging, Boyolali. Yang ke II tidak diketahui makamnya. Mungkin karena dia bukan pujangga. Dikenal dengan nama Syeikh Abu Bakar. Ronggowarsito yang dimakamkan di sini adalah Ronggowarsito ke-3. Dialah Jayabhaya… “
Begitulah bapak yang biasa bersih-bersih di makam itu bercerita dengan antusias. Cerita bapak tidaklah sepenuhnya benar. Sebagai seorang yang kurang melek literasi hal itu bisa dimaklumi, mengingat di sisi samping pintu gerbang terdapat patung Ronggowarsito dengan prasasti “Jaman Edan” yang terkenal itu. Di samping itu beberapa orang rancu dengan Ronggowarsito sebagai Jayabhaya ini karena Ronggowarsito biasa menyisipkan namanya pada karya-karya yang ditulisnya.
Sebagai pujangga Kraton Surakarta, Ronggowarsito memang dikenal sebagai ahli ramalan karena banyak menuliskan naskah-naskah Jayabhaya. Karena itulah banyak orang yang menganggap Ronggowarsito sebagai Jayabhaya itu sendiri, meski sebenarnya bukan. Prabu Jayabhaya adalah Raja Kediri. Di bawah pemerintahannya (1135-1157) Kediri mencapai masa kejayaannya. Bukti-bukti tertulis pada prasasti Hantang (1135), prasasti Talan (1136), dan prasasti Jepun (1144).
Sedangkan Ronggowarsito lahir pada hari senin legi, 15 Maret 1802 dengan nama Bagus Burhan. Beberapa sumber nasional menulis Ronggowarsito lahir tanggal 14 Maret 1802. Hal itu dimungkinkan karena dalam tradisi Jawa pergantian hari terjadi pada sore hari. Jadi tanggal 14 sore secara kejawaan sudah masuk tanggal 15.
Pada masanya, Prabu Jayabhaya tidak pernah menuliskan karya-karyanya, termasuk panjangkanya yang terkenal itu, “Jaman Edan”. Karya-karyanya dituliskan oleh para pujangga ratusan tahun setelah kepergiannya. Dari peninggalan tulisan yang ada tercatat bahwa karya-karya Prabu Jayabhaya pertama kali dituliskan oleh Sunan Giri Prapen (Sunan Giri ke-3) dalam kitab Musasar tahun 1618 M. Ini adalah masa Sultan Agung, raja Kerajaan Mataram Islam 1613-1645. Penulis lainnya yang dianggap sahih adalah Pangeran Kadilangu II atau disebut juga Pangeran Mijil I dari Kadilangu, Demak yang merupakan daerah perdikan1Daerah khusus yang dimerdekakan dari kerajaan sehingga terbebas dari semua kewajibannya terhadap negara. . Kredibilitas Pangeran Mijil I ini karena dia adalah keturunan Sunan Kalijogo sehingga wajar kalau mengetahui cerita dari silsilahnya. Jadi Ronggowarsito bukanlah orang pertama yang menuliskan kembali karya-karya Prabu Jayabhaya.
Riwayat R. Ng. Ronggo Warsito
Lahir pada hari senin legi, 15 Maret 1802 dengan nama Bagus Burhan. Dia adalah Ronggowarsito III, bergelar Raden Ngabehi Ronggowarsito. Dulu dititipkan di Gontor, berguru pada Kyai Imam Kasan Besari.
Di tengah desa ini ada sebuah sumur yang sekarang dikenal dengan nama sumur tiban. Sumur yang tiba-tiba ada, jatuh dari langit. Di lokasi inilah dimakamkan ‘cikal-bakal’ Desa Palar, yaitu Bagus Tlogo Gumpyur.
Ketika Ronggowarsito wafat pada hari Rabu pon, 24 Desember 1873 dia dimakamkan di dekat makam cikal-bakal dan sumur tiban tersebut.
Pada masa presiden Sukarno, sebagai bentuk penghormatan dibangun cungkup atau gedung makam yang megah. Terkabarkan ada dua presiden Indonesia yang pernah ziarah ke makam tersebut, yaitu Sukarno dan Gus Dur.
Keistimewaan Desa Palar
Pandemen kesenian Jawa tentu akrab dengan “gendhing palaran”. Seni karawitan gaya Desa Palar. Melihat sejarah ini Desa Palar ini pada masa dahulu tentulah sebuah desa yang hidup seni karawitannya. Sayangnya gaung berkesenian masyarakat ini sekarang nyaris tidak ada bekasnya.
(/na)